Kamis, 04 Desember 2008

DERRIDA DAN RETROPEKSI DEKONSTRUKSI

Ketika acara jumat malam 2 minggu yang lalu, saya mendapat amanat untuk menulis dengan tema “Jacques Derrida sebagai kritikus sastra”. Namun dalam mempelajarinya kebanyakan orang berpendapat Jacques Derrida adalah seorang filsuf dan ahli linguistik. Walau begitu saya bisa mengganggap beliau sebagai seorang kritkus sastra, atau sebagai seorang filsuf dan ahli linguistik atau sebagai seorang kritikus sastra, seorang filsuf dan ahli linguistik atau bisa juga beliau seorang yang tidak sebagai apa-apa.

Jacques Derrida yang selanjutnya kita sebut Derrida adalah seorang pemikir yang tidak memprioritaskan pada hasil. Ia lebih fokus pada proses peran yang ia mainkan dalam suatu permainan agar penampilan bermainnya terlihat cantik. Tentu saja ini tidak terlepas dari penghayatan peran. Artinya Derrida sebagai seorang kritikus sastra atau sebagai seorang filsuf atau seorang ahli linguistik tidaklah penting, hal tsb. adalah jabatan sosial yang harus ia terima sebagai konsekwensinya, yang lebih penting adalah Derrida telah membuka satu cakrawala pemikiran, cara pandang baru dalam memaknai sesuatu. Derrida bukanlah berhala seperti apa yang dikatakan Damhuri dalam Kompas Sabtu, 22 November 2008. Derrida adalah manusia biasa yang mencoba menemukan kembali jalan pulang yang kini tertutup semak-semak belukar.

Dekonstruksi adalah hasil pikiran Derrida. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk bersikap tidak fanatik terhadap sesuatu. Dekonstruksi mengajak kita untuk menelusuri terlebih dahulu pada sesuatu yang menjadi logosentrisme. Tentu saja hal ini dapat kita aplikasikan dalam filsafat, bahasa, sastra atau apa pun dalam kehidupan sehari-hari.
Dekonstruksi merupakan wujud nyata dari hukum perubahan. Hukum yang menuntut kesadaran diri untuk berpikir kritis. Kemapanan dipertanyakan kembali, dibongkar dan selanjutnya akan dimaknai kembali sehingga muncul paradigma baru.
Dekonstruksi pun lahir seolah-olah sebagai “anak jadah” bagi kaum strukturalisme. Kemudian dekonstruksi berkumpul dengan “anak jadah-anak jadah” lainnya dalam satu kaum yakni kaum post-strukturalisme. Para tokohnya antara lain : Michael Foucault fokus pada seksualiatas, Julia Kristeva fokus pada feminis, Roland Barthes fokus pada semiologi, Jacques Lacan fokus pada psikoanalisis.

Syarat dari dekonstruksi adalah rasa curiga. Subjek harus memiliki rasa curiga terhadap teks, setelah itu muncul pengambilan jarak.Berawal dari sinilah dekonstruksi dimulai. Namun hal inilah hal yang membahayakan. Rasa curiga telah merasuk kuat ke dalam diri kita.mencurigai satu sama lain! Kemudian yang terjadi adalah adanya jarak yang bergerak menjauh kepada orang lain. Semakin jauh! Kita tidak bersatu kembali karena karena rasa curiga kita yang sangat luar biasa besar.
Apakah kita menginginkan dekonstruksi massal seperti ini?
Apakah kita memerlukan dekonstruksi yang justru merusak nilai-nilai kemanusiaan?
Tentunya hal ini kita hindarkan. Kita adalah manusia yang masih mempunyai akal, pikiran yang waras dan hati nurani yang suci.
Mari Dekonstruksi kita letakkan pada tempatnya.
Dekonstruksi kita jadikan proses untuk melawan keangkaraan.

Tidak ada komentar: